Kancil Mas FC

Selasa, 27 November 2012

Permainan Sepak Bola

MUARA » Catatan Kritis dan Analisis Aktual

Permainan Sepakbola
16 Juni 2010 17:02:26 | copas from gusmus.net
Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri

Cobalah Anda pikir agak tenang tanpa mengikutsertakan kesenangan Anda sendiri, mungkin Anda pun -- seperti orang yang tidak senang atau tidak paham sepak bola -- merasa geli melihat 22 orang dewasa –-sebelas lawan sebelas-- berlari-lari memperebutkan dengan serius sebuah benda bundar.
Kecuali dua orang yang bertindak menjaga gawang yang tidak banyak berlari; cukup mempertahankan dan menangkap bola bila bola mengarah ke gawangnya. (Berbeda dengan yang lainnya, kedua orang ini tidak mutlak dilarang memegang bola). Anehnya bila bola sudah terebut, langsung --atau dibawa sebentar kemudian-- disepak lagi untuk diperebutkan kembali. Sering kali, meski sudah ada wasit lapangan dan wasit-wasit garis yang memimpin pertandingan, orang-orang dewasa yang memperebutkan bola itu sampai berantem. Bila karena terlalu sengit berebut bola lalu terjadi tabrakan antar pemain dan wasit sudah menentukan bola diberikan kepada pihak tertentu, pihak ini pun malah menendangnya kembali. Bayangkan bila perebutan 11 x 11 orang dewasa ini tanpa wasit yang memimpin atau wasitnya seperti kebanyakan wasit negeri ini.
Sampai suatu saat, bila ada salah seorang di antara 22 orang itu yang berhasil menendang dan memasukkan bola ke gawang lawan yang dijaga mati-matian oleh penjaganya, semua --kecuali pihak yang kemasukan dan pendukung-pendukungnya– pun bersorak-sorai gembira. Kemudian bola pun ditaruh di tengah lagi untuk diperebutkan kembali. Begitulah permainan yang betul-betul permainan ini berlangsung cukup lama, resminya 2 x 45 menit, kecuali bila ada perpanjangan waktu. (Di Pensylvania Amerika Serikat, malah pernah ada pertandingan –antara dua kesebelasan dari Muhlenberg College-- sampai 48 jam nonstop, tanpa pemain pengganti). Seperti setiap permainan yang lain, dalam sepak bola ini pun harus ada yang menang. Yang menang adalah yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan.

Sungguh absurd sebenarnya. Namun absurd tidak absurd, permainan sepak-menyepak bola yang konon cikal-bakalnya berasal dari permainan Tsu-chu Cina zaman dinasti Han, 3-4 abad sebelum Masehi itu adalah olah raga yang paling –atau setidaknya termasuk yang paling– digemari di dunia. Bahkan sejak distandardkan dengan pembentukan Football Association di Inggris tahun 1863 dan terbentuknya federasi sepak bola dunia (FIFA) tahun 1907, permainan ini bukan saja semakin meluas popularitasnya, perkembangannya pun terus semakin canggih. Bukan saja dari segi sistem dan teknik permainan, melainkan juga pengorganisasiannya terus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Apalagi setelah bisnis dan kemajuannya –sebagaimana dalam banyak permainan yang lain-- ikut campur dalam menentukan kehadiran dan perkembangannya.

Seperti biasa dan seperti pada banyak hal, negara-negara maju yang memiliki kelebihan di hampir semua segi kehidupan, peranannya sangat besar bahkan menentukan dalam membawa permainan itu ke derajat ‘terhormat’ dan digilai hampir semua lapisan masyarakat dunia seperti sekarang ini. Jangankan sepak bola, permainan yang berbahaya dan sangat tidak manusiawi pun --paling tidak menurut sebagian kalangan– seperti tinju, di tangan mereka, bisa menjadi olah raga yang dicandui; sudah tentu setelah menjadi tambang fulus bagi mereka.

Memang mereka –orang-orang di negeri maju– itu, barangkali karena kelebihan mereka di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ditambah disiplin dan keseriusan mereka, bagi kita di negeri berkembang ini bagaikan tukang sihir saja laiknya. Kebalikan dari kita yang menggarap hal-hal penting seperti main-main saja, mereka bahkan permainan bisa disulap menjadi hal yang sangat serius dan penting. Seperti sepak bola itu misalnya, dengan kelihaian mereka mengemas dan menawarkannya, dunia pun dibuat keranjingan terhadapnya sesuai kemauan mereka. Negara-negara penggandrung sepak bola yang mereka nilai kaya dengan potensi sumberdaya pemain, mereka pacu dan support. Permainan sederhana, amatiran, dan bisa dimainkan dimana saja -- dengan pemain berapa saja, dengan pakaian apa saja (bahkan tanpa pakaian sekalipun), dan dengan bola apa saja (dengan bola gombal sekalipun) – itu mereka profesionalkan dan bisniskan dengan cara yang amat canggih. Dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, permainan sepak bola pun akhirnya menjadi ‘agenda dunia’ yang penting dan sangat merampas perhatian.

Termasuk kita disini, dimana sepak bola –seperti hal-hal yang lain, hanya sibuk dibicarakan dan dipertengkarkan-- pertandingan sepak bola manca negara merupakan ‘acara wajib’ yang ikut mengatur irama dan gaya hidup kita. Pers dengan semangat patriotisme, berlomba-lomba memberitakan dan menayangkan setiap pertandingan. Ulasan dan analisis sepak bola yang ndaqik-ndaqik pun memenuhi media massa. Jadwal pertandingan dan kompetisi mereka --hingga yang bersifat lokal-- pun kita catat. Gol-gol terbaik dalam setiap pertandingan, kita bukukan. Nama-nama pemain klub-klub disana – apalagi yang menjadi bintang (umumnya pemain yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan, pemain yang paling pandai mempertahankan gawang, yang paling lihai membawa atau merebut bola)– kita hafal melebihi nama-nama para pemain klub-klub di tanah air sendiri. Siapa yang tak kenal Pele –konon dari rangkaian kata Portugis, Pe kependekan dari kaki dan le dari malas– alias Edison Arantes do Nascimento dari Brazil yang dijuluki Si Kaki emas dan sejak 7 September 1956 hingga 2 Oktober 1974 memasukkan bola 1216 gol? Siapa tidak kenal Libero Franz Beckenbauer dari Jerman Barat; Johan Cruyff dari Belanda; Diego Maradona dari Argentina; atau bomber Inter Milan asal Brazil, Ronaldo Luis Nazario. Bahkan banyak bayi lahir yang dinamai dengan nama-nama seperti Eka Maradona, Mohammad Maldini, Supele, Rosyat Baggio, dll.

Pendek kata, sepak bola sudah menjadi semacam virus yang membuat demam dunia. Lihatlah, betapa pers, termasuk di kita, sudah geger mempersiapkan diri menyambut World Cup 1998 yang masih akan digelar Juni-Juli mendatang. Rubrik-rubrik sudah diplot; pengulas-pengulas (di negeri ini pengulas sepak bola jauh lebih banyak dan lebih lihai katimbang pemain sepak bola) sudah mulai diincar atau dikontrak; tv-tv sudah mengiklankan jadwal-jadwal pertandingan; dsb. dst.

Itu semua tentu tidak lepas dari kelihaian para pencari materi (duit) yang tahu persis bagaimana memanfaatkan permainan yang menjadi kegemaran hampir semua orang itu. Mereka yang paling lihai, paling kreatif, dan paling serius, akan mendapat keuntungan paling banyak. Karena di zaman ini, sepak bola –sebagaimana banyak permainan yang lain– tidak hanya merupakan olah raga atau apalagi permainan pengisi waktu senggang. Sepak bola di zaman ini sudah pula berarti bisnis; gengsi; entertainment; dlsb.

Kecuali mereka yang memang tidak suka dan tidak paham sepak bola, kiranya tak ada lagi orang yang merasa geli melihat 22 orang dewasa berlari-lari berebut bola untuk ditendang kembali setelah berhasil merebutnya. Sedangkan melihat mereka yang membahas, mengkalkulasi, menyeminarkan, bahkan mendirikan sekolah untuk itu pun, rasanya tak ada yang merasa aneh dan geli.

Tapi itulah hidup. Hidup tak lebih dari permainan, seperti permainan sepak bola itu. Orang berlari-lari, berebut sesuatu yang sepele untuk kemudian dilepas dan dikejar-kejar lagi. Mereka yang mengejar dan berebut harta misalnya, setelah berhasil mendapatkannya, ada yang dilepas secara sukarela, ada terpaksa dilepaskannya. Demikian pula mereka yang mengejar dan berebut kursi atau kekuasaan.
Untuk merebut, kalau perlu menyikut, menendang, dan menginjak saudara sendiri. Yang gede menggunakan ke-gede-annya; yang mempunyai kepintaran menggunakan kepintarannya; yang kuat memanfaatkan kekuatannya; dan sebagainya dan seterusnya. Karena itu, sebagaimana dalam permainan sepak bola juga, aturan dan ketaatan terhadap aturan permainanlah yang paling menentukan enak atau tidaknya permainan itu dimainkan dan ditonton. Sebaliknya ke-tiadaan-aturan atau ketiadaan ketaatan terhadap aturan-lah yang membuat rusak permainan. Apalagi apabila penyelenggara dan pimpinan permainan sendiri sudah tidak mempunyai itikad untuk menegakkan aturannya.

Wallahu a’lam.

Rembang, 1419
Foto


Santri NU Memandang Tahlilan: Tahlilan Dalam Perspektif Agama Dan Budaya.

OPINI | 09 June 2012 | Kompasiana tak CoPas
Agama dan budaya memiliki watak dan wilayah yang berbeda. Agama bersifat transeden, suci, absolut dan permanen. Budaya sebagai cipta karsa menusia bersifat relatif, karena mengalami dinamika dan perkembangan terus menerus.
Tetapi agama yang menuntut pemeluknya untuk berinteraksi secara sosial akan senantiasa bersinggungan dengan budaya. Persinggungan agama dan budaya memiliki potensi konflik yang cukup tinggi, menimbang watak dan wilayahnya yang berbeda. Meski demikian, agama dan budaya juga memiliki titik temu, mengingat agama dipeluk oleh manusia yang berbudaya.
Menimbang titik temu inilah, para ulama berusaha mencari cara untuk mengakomodir budaya ke dalam ajaran agama untuk meredam timbulnya konflik sebagai efek dari ketersinggungan antara keduanya. Salah satunya yaitu dengan cara meng-akulturasikan budaya dengan agama melalui rumusan satu kaidah yaitu “Al-Adah Muhkamah”. Artinya, adat kebiasaan masyarakat atau budaya lokal, diakui sebagai salah satu instrumen ajaran dalam Islam.
Dari sini kita berangkat memandang tahlilan. Sebab dari makna tahlil secara agama ialah mengucapkan kalimah La Illa Ha Illallah. Dengan adanya imbuhan an pada kata tahlilan, jelas menandakan adanya proses transfomasi  akulturasi antara agama dan budaya. Sehingga tahlilan dalam prakteknya tidak sekedar mengucapkan kalimah tauhid saja, tetapi melebar kepada hal-hal yang lainnya yang berbau budaya lokal, seperti 7 hari, 1000 hari, haul (1 tahun) dan seterusnya.
Agaknya rumusan ini yang menjadi pijakan para wali sanga dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara. Sunan Kalijaga, misalnya, segera mendorong pencepatan proses transformasi sosial melalui unsur2 lokal, seperti wayang, untuk menopang efektivitas dakwah Islam. Sehingga tak heran bila kita masih bisa merasakan manisnya Islam hingga saat ini.
Jadi tahlil adalah wilayah agama yang diakulturasikan dengan kearifan budaya lokal masyarakat sekitar. Demikian kentalnya akulturasi tersebut, sehingga banyak tradisi jawa yang hanya tinggal kerangkannya saja. Untuk kasus tahlilan, umat saat ini cenderung menganggap sebagai bagian dari agama dan bukan budaya. Mereka memandang tahlilan sebagai bagian dari ajaran agama dan bukan budaya.
Sedangkan, bagi individu yang beranggapan bahwa agama dan budaya tidak memiliki titik temu, tentu akan akan menganggap bahwa setiap produk yang lahir dari akulturasi antara agama dan budaya adalah sesuatu yang bid’ah, dan bid’ah dilarang oleh Islam. Dan panjang penjelasan tentang hal ini.
Kini kembali kepada diri kita masing2, akankah kita tahlilan?. Saya sendiri adalah pengagum metode dakwah wali sanga, sekaligus Gusdur, oleh karenanya saya tahlilan.
Selamat menikmati hidangan.Foto

Baru

Foto SayaBaru ada tambahan Batang supaya tak ditiru

Foto

Selasa, 24 Januari 2012

SELAMAT DATANG SEJAHTERA' SEMOGA...!


               Pemandanan berbeda Nampak di sepanjang jalanan di seluruh kabupaten Batang,baik itu jalan desa,jalan setapak, jalan kabupaten ,jalan propinsi hingga jalan Nasional yang sangat kesohor namanya di kalangan sopir truk dan dikenal akrab oleh para keneknya yaitu jalur pantai utara atau pantura.Begitu semaraknya jalanan dengan panji-panji warna- warni bertebaran menyatu bersama bising mesin dan debu jalanan campur cipratan oli.Mulai bulan puasa kemarin tepatnya pada bulan Agustus 2011 di sana-sini  dan dimana-mana baik berupa baliho maupun spanduk terlihat berita tentang janji pembangunan,ucapan selamat puasa sampai selamat idul fitri berjejer  di pinggir jalan entah menambah indah atu merusak pemandangan tergantung anda melihat dari sisi mana,Sehingga menutupi iklan layanan kesehatan masyarakat  berupa sedot WC maupun pengobatan alternative memperbesar alat vital yang lengkap dengan no.HP tapi tak menerima SMS itu harus rela ditutupi pose ramah wajah-wajah yang itu benar tersenyum atau dipaksakan.tentu pertanyaanya siapa dan ada apakah kok tiba-tiba mereka ramah menyapa,member senyum pada tiap orang yang lewattak peduli miskin ,kaya atau gila,bukan tanpa alas an bila tukang cetak sablon kebanjiran order,karena semua itu ada  hubungannya dengan tanggal 11 Desember 2011 ada hajatan besar di Kabupaten Batang yaitu pemilukada yang katanya pesta demokrasi untuk rakyat itu.
           Setelah nengucapkan berbagai ucapan selamat ke seluruh masyarakat,sudah semakin jelas apa tujuan tebar pesona tersebut’ apa lagi kalau bukan mengincar kursi G 1 C alias orang nomor satu di Kabupaten ini.Saat masa kampanye tiba adalah saat menyenangkan bagi kita rakyat biasa’ entah itu tertutup,terbuka atau setengah terbuka.Kemeriahan terjadi di mana-mana,topik  obrolansemua sama tentang pilkada dari poskamling sampai posyandu dari warung kopi remang-remang sampai warung nasi terang bulan dari panti asuhan sampai panti pijat semua bicara prediksi,aksi dan situasi terkini peduli utang masih di sana-sini yang penting ikut berpartisipasi walu suara tak didengar sama sekali.Dari semua yang akan maju berkompetisi mereka punya caranya masing-masing untuk tebar sexy.ada yang bagi-bagi door prize dari meja sampai kursi sepeda sampai oleh-oleh haji’ tapi sayang nggak ada yang ngajak naik Haji’ mengundang tokoh nasional  hingga hiburan oleh artis ibu kota,,kini masyarakat yang sudah akil baliqh punya hak pilih harus lebih jeli mana calon yang benar-benar ingin mengabdi pada rakyat selain ketua RT tentunya’’ atau hanya yang ingin mengejar status sosial apalagi nmenambah  harta pribadi agar punya investasi dari jadi Bupati.Tentunya dibutuhkan ilmu Pemerintahan yang mumpuni.Paket Calon yang ada bukan disatukan situasi dan kondisi serta kebutuhan koalisi tapi benar-benar  satu visi misi untuk negeri…..
              Yah..nantinya siapa saja yang terpilih akan memberi  warna baru,merubah wajah muram menjadi senyum meneruskan yang baik mengganti yang salah dan berubah kearah kemajuan…dan yang lebih penting   ‘’SING KALAH OJO NGAMUK SING MENANG OJO UMUK’’ dan kemenangan selayaknya tidak dirayakan dengan pesta berlebihan tapi  dengan do’a karena ada tanggung  jawab dan tugas berat menanti di depan…semoga kita tidak salah pilih….selamat datang perubahan selamat datang sejahtera..semoga…  UNTUKMU NEGERI BANGKITLAH..!