Santri NU Memandang Tahlilan: Tahlilan Dalam Perspektif Agama Dan Budaya.
OPINI | 09 June 2012 | Kompasiana tak CoPas
Agama dan budaya memiliki watak dan wilayah yang
berbeda. Agama bersifat transeden, suci, absolut dan permanen. Budaya
sebagai cipta karsa menusia bersifat relatif, karena mengalami dinamika
dan perkembangan terus menerus.
Tetapi agama yang menuntut pemeluknya untuk berinteraksi secara sosial akan senantiasa bersinggungan dengan budaya. Persinggungan agama dan budaya memiliki potensi konflik yang cukup tinggi, menimbang watak dan wilayahnya yang berbeda. Meski demikian, agama dan budaya juga memiliki titik temu, mengingat agama dipeluk oleh manusia yang berbudaya.
Menimbang titik temu inilah, para ulama berusaha mencari cara untuk mengakomodir budaya ke dalam ajaran agama untuk meredam timbulnya konflik sebagai efek dari ketersinggungan antara keduanya. Salah satunya yaitu dengan cara meng-akulturasikan budaya dengan agama melalui rumusan satu kaidah yaitu “Al-Adah Muhkamah”. Artinya, adat kebiasaan masyarakat atau budaya lokal, diakui sebagai salah satu instrumen ajaran dalam Islam.
Dari sini kita berangkat memandang tahlilan. Sebab dari makna tahlil secara agama ialah mengucapkan kalimah La Illa Ha Illallah. Dengan adanya imbuhan an pada kata tahlilan, jelas menandakan adanya proses transfomasi akulturasi antara agama dan budaya. Sehingga tahlilan dalam prakteknya tidak sekedar mengucapkan kalimah tauhid saja, tetapi melebar kepada hal-hal yang lainnya yang berbau budaya lokal, seperti 7 hari, 1000 hari, haul (1 tahun) dan seterusnya.
Agaknya rumusan ini yang menjadi pijakan para wali sanga dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara. Sunan Kalijaga, misalnya, segera mendorong pencepatan proses transformasi sosial melalui unsur2 lokal, seperti wayang, untuk menopang efektivitas dakwah Islam. Sehingga tak heran bila kita masih bisa merasakan manisnya Islam hingga saat ini.
Jadi tahlil adalah wilayah agama yang diakulturasikan dengan kearifan budaya lokal masyarakat sekitar. Demikian kentalnya akulturasi tersebut, sehingga banyak tradisi jawa yang hanya tinggal kerangkannya saja. Untuk kasus tahlilan, umat saat ini cenderung menganggap sebagai bagian dari agama dan bukan budaya. Mereka memandang tahlilan sebagai bagian dari ajaran agama dan bukan budaya.
Sedangkan, bagi individu yang beranggapan bahwa agama dan budaya tidak memiliki titik temu, tentu akan akan menganggap bahwa setiap produk yang lahir dari akulturasi antara agama dan budaya adalah sesuatu yang bid’ah, dan bid’ah dilarang oleh Islam. Dan panjang penjelasan tentang hal ini.
Kini kembali kepada diri kita masing2, akankah kita tahlilan?. Saya sendiri adalah pengagum metode dakwah wali sanga, sekaligus Gusdur, oleh karenanya saya tahlilan.
Tetapi agama yang menuntut pemeluknya untuk berinteraksi secara sosial akan senantiasa bersinggungan dengan budaya. Persinggungan agama dan budaya memiliki potensi konflik yang cukup tinggi, menimbang watak dan wilayahnya yang berbeda. Meski demikian, agama dan budaya juga memiliki titik temu, mengingat agama dipeluk oleh manusia yang berbudaya.
Menimbang titik temu inilah, para ulama berusaha mencari cara untuk mengakomodir budaya ke dalam ajaran agama untuk meredam timbulnya konflik sebagai efek dari ketersinggungan antara keduanya. Salah satunya yaitu dengan cara meng-akulturasikan budaya dengan agama melalui rumusan satu kaidah yaitu “Al-Adah Muhkamah”. Artinya, adat kebiasaan masyarakat atau budaya lokal, diakui sebagai salah satu instrumen ajaran dalam Islam.
Dari sini kita berangkat memandang tahlilan. Sebab dari makna tahlil secara agama ialah mengucapkan kalimah La Illa Ha Illallah. Dengan adanya imbuhan an pada kata tahlilan, jelas menandakan adanya proses transfomasi akulturasi antara agama dan budaya. Sehingga tahlilan dalam prakteknya tidak sekedar mengucapkan kalimah tauhid saja, tetapi melebar kepada hal-hal yang lainnya yang berbau budaya lokal, seperti 7 hari, 1000 hari, haul (1 tahun) dan seterusnya.
Agaknya rumusan ini yang menjadi pijakan para wali sanga dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara. Sunan Kalijaga, misalnya, segera mendorong pencepatan proses transformasi sosial melalui unsur2 lokal, seperti wayang, untuk menopang efektivitas dakwah Islam. Sehingga tak heran bila kita masih bisa merasakan manisnya Islam hingga saat ini.
Jadi tahlil adalah wilayah agama yang diakulturasikan dengan kearifan budaya lokal masyarakat sekitar. Demikian kentalnya akulturasi tersebut, sehingga banyak tradisi jawa yang hanya tinggal kerangkannya saja. Untuk kasus tahlilan, umat saat ini cenderung menganggap sebagai bagian dari agama dan bukan budaya. Mereka memandang tahlilan sebagai bagian dari ajaran agama dan bukan budaya.
Sedangkan, bagi individu yang beranggapan bahwa agama dan budaya tidak memiliki titik temu, tentu akan akan menganggap bahwa setiap produk yang lahir dari akulturasi antara agama dan budaya adalah sesuatu yang bid’ah, dan bid’ah dilarang oleh Islam. Dan panjang penjelasan tentang hal ini.
Kini kembali kepada diri kita masing2, akankah kita tahlilan?. Saya sendiri adalah pengagum metode dakwah wali sanga, sekaligus Gusdur, oleh karenanya saya tahlilan.
Selamat menikmati hidangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar