‘Mimpi Manis’ Piala Dunia 1938

Indonesia pernah merasakan atmosfer Piala Dunia, tepatnya pada Piala Dunia tahun 1938 di Perancis. Sampai saat ini, kita terus menerus membanggakan keikutsertaan di Piala Dunia itu. Namun pertanyaannya, apakah benar yang berlaga di sana tim nasional Indonesia?
Menurut Srie Agustina Palupi dalam bukunya Politik dan Sepak Bola di Jawa 1920-1942 orang-orang Indonesia mengenal sepakbola dari bangsa Belanda yang datang ke Hindia Belanda untuk bekerja di instansi-instansi pemerintah kolonial. Awalnya sepakbola hanya bisa dilakukan oleh orang-orang Belanda, lalu orang-orang Tionghoa, kemudian orang-orang bumiputra yang punya status sosial setaraf dengan bangsa Belanda. Selanjutnya, orang-orang bumiputra yang sudah paham akan sepakbola memperkenalkannya kepada masyarakat luas.
Sebenarnya, jauh sebelum Belanda datang ke negeri ini, orang-orang Indonesia sudah mengenal olahraga semacam sepak bola, yaitu sepakraga (sepaktakraw). “Karena pengaruh sepakraga ini orang-orang asing menyebut sepakbola dengan istilah tersebut,” tulis Masmimar dalam bukunya Abidin, Penjetak Gol. Boleh dibilang, secara tidak langsung bangsa kita membentuk sebuah frasa kata yang ‘disetujui’ menir-menir Belanda itu. Lalu, bagaimanakah cerita soal Indonesia di Piala Dunia 1938?
NIVU curangi PSSI

Alkisah, Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB)sebuah organisasi sepakbola orang-orang Belanda di Hindia Belandamenaruh hormat kepada Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) lantaran Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB)yang memakai bintang-bintang dari NIVBkalah dengan skor 2-1 lawan Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ)salah satu klub anggota PSSIdalam sebuah ajang kompetisi PSSI ke III pada 1933 di Surabaya. Maka terbukalah mata tuan-tuan bule ini melihat kemampuan olah kulit bundar bumiputra. NIVU yang semula memandang sebelah mata PSSI akhirnya mengajak bekerjasama. Kerjasama tersebut ditandai dengan penandatanganan Gentlemen’s Agreement pada 15 Januari 1937. Pascapersetujuan perjanjian ini, berarti secara de facto dan de jure Belanda mengakui PSSI (Palupi, 2004: 75-76). Perjanjian itu juga menegaskan bahwa PSSI dan NIVU menjadi pucuk organisasi sepakbola di Hindia Belanda. Di tahun 1938, Indonesia mendapat undangan dari FIFA untuk berlaga di Piala Dunia Perancis. Salah satu butir di dalam perjanjian itu juga berisi soal pertandingan sepakbola sejagat ini. Butirnya, yakni dilakukan pertandingan antara tim bentukan NIVU melawan tim bentukan PSSI sebelum diberangkatkan ke Piala Dunia (semacam seleksi tim). Namun, apa lacur, NIVU melanggar perjanjian dan memberangkatkan tim bentukannya. Mereka menelikung secara sepihak dan tak tepati janji. Konon, NIVU melakukan hal tersebut karena tak mau kehilangan muka, sebab PSSI pada masa itu memiliki tim yang kuat. Dalam pertandingan internasional, PSSI membuktikannya. Pada 7 Agustus 1937 tim yang beranggotakan, di antaranya Maladi, Djawad, Moestaram, Sardjan, berhasil menahan imbang 2-2 tim Nan Hwa dari Cina di Gelanggang Union, Semarang. Padahal Nan Hwa pernah menyikat kesebelasan Belanda dengan skor 4-0. Dari sini kedigdayaan tim PSSI mulai kesohor.
Atas tindakan culas tuan-tuan kulit putih ini, Soeratinketua PSSI yang juga aktivis gerakan nasionalisme Indonesiasangat geram. Ia menolak memakai nama NIVU. Alasannnya, kalau NIVU diberikan hak, maka komposisi materi pemain akan dipenuhi orang-orang Belanda. Sialnya, FIFA mengakui NIVU sebagai perwakilan dari Hindia Belanda. Akhirnya PSSI membatalkan secara sepihak perjanjian Gentlemen’s Agreement saat Kongres di Solo pada 1938.
Maka sejarah mencatat mereka yang berangkat ke Piala Dunia Perancis 1938 mayoritas orang Belanda. Mereka yang terpilih untuk berlaga di Perancis, yaitu Bing Mo Heng (kiper), Herman Zommers, Franz Meeng, Isaac Pattiwael, Frans Pede Hukom, Hans Taihattu, Pan Hong Tjien, Jack Sammuels, Suwarte Soedermadji, Anwar Sutan, dan Achmad Nawir (kapten). Mereka diasuh oleh pelatih sekaligus ketua NIVU, Johannes Mastenbroek. “Mo Heng, Nawir, Soedarmadji adalah pemain-pemain bumiputra yang berhasil memperkuat kesebelasan Hindia Belanda, tetapi bertanding di bawah bendera kerajaan Nederland dan bukan Merah-Putih,” tulis Srie Agustina Palupi dalam bukunya Politik dan Sepak Bola.
Kurcaci yang dipecundangi raksasa

Tidak ada komentar:
Posting Komentar